BAKU
MUTU LINGKUNGAN
DAN
STANDARDISASI
LINGKUNGAN
Oleh:
Prof DR Ir Soemarno,MS
Agustus 2007
I. PENDAHULUAN
Pembangunan sumberdaya alam dan
lingkungan hidup seyogyanya menjadi acuan bagi kegiatan berbagai sektor
pembangunan agar tercipta keseimbangan dan kelestarian fungsi sumberdaya alam
dan lingkungan hidup sehingga keberlanjutan pembangunan tetap terjamin.
Pola
pemanfaatan sumberdaya alam seharusnya dapat memberikan akses kepada segenap
masyarakat, bukan terpusat pada beberapa kelompok masyarakat dan golongan
tertentu, dengan demikian pola pemanfaatan sumberdaya alam harus memberi
kesempatan dan peran serta aktif masyarakat, serta meningkatkan kemampuan
masyarakat untuk mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan.
Peranan pemerintah
dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam harus dapat dioptimalkan,
karena sumberdaya alam sangat penting peranannya terutama dalam rangka
meningkatkan pendapatan negara melalui mekanisme pajak, retribusi dan bagi
hasil yang jelas dan adil, serta perlindungan dari bencana ekologis. Sejalan dengan otonomi daerah, pendelegasian
secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam
pengelolaan sumberdaya alam dimaksudkan untuk meningkatkan peranan masyarakat
lokal dan tetap terjaganya fungsi lingkungan.
Peraturan
perundang-undangan yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam harus dapat
mengurangi tumpang tindih peraturan penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam
dan keselarasan peran antara pusat dan daerah serta antar sektor. Selain itu peran serta aktif masyarakat dalam
akses dan kontrol sumberdaya alam harus lebih optimal karena dapat melindungi
hak-hak publik dan hak-hak adat.
Meningkatnya intensitas
kegiatan penduduk dan industri perlu dikendalikan untuk mengurangi kadar kerusakan
lingkungan di banyak daerah antara lain pencemaran industri, pembuangan limbah
yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan kesehatan, penggunaan bahan bakar
yang tidak aman bagi lingkungan, kegiatan pertanian, penangkapan ikan dan
pengelolaan hutan yang mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Dengan memperhatikan
permasalahan dan kondisi sumberdaya alam dan lingkungan hidup dewasa ini, maka
kebijakan di bidang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup ditujukan
pada upaya :
(1) mengelola sumberdaya alam, baik yang dapat
diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui melalui penerapan teknologi
ramah lingkungan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampungnya;
(2) menegakkan hukum secara adil dan konsisten untuk
menghindari perusakan sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan;
(3) mendelegasikan kewenangan dan tanggung jawab
kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup
secara bertahap;
(4) memberdayakan masyarakat dan
kekuatan ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal;
(5) menerapkan secara efektif penggunaan indikator-indikator
untuk mengetahui keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup;
(6) memelihara kawasan konservasi yang
sudah ada dan menetapkan kawasan konservasi baru di wilayah tertentu; dan
(7) mengikutsertakan masyarakat dalam rangka menanggulangi
permasalahan lingkungan global.
Sasaran yang ingin dicapai
adalah terwujudnya pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan
berwawasan keadilan seiring meningkatnya kesejahteraan masyarakat serta
meningkatnya kualitas lingkungan hidup sesuai dengan baku mutu lingkungan yang
ditetapkan, serta terwujudnya keadilan antar generasi, antar dunia usaha dan
masyarakat, dan antar negara maju dengan negara berkembang dalam pemanfaatan
sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang optimal.
II. ARAH KEBIJAKAN
Untuk mencapai tujuan dan sasaran
yang telah ditetapkan di atas, GBHN 1999 mengamanatkan bahwa :
1) Mengelola sumberdaya alam dan memelihara daya
dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari
generasi ke generasi;
2) Meningkatkan pemanfaatan potensi
sumberdaya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan konservasi,
rehabilitasi dan penghematan penggunaan, dengan menerapkan teknologi ramah
lingkungan;
3) Menerapkan indikator-indikator yang
memungkinkan pelestarian kemampuan keterbaharuan dalam pengelolaan
sumberdaya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan yang tidak
dapat balik;
4) Mendelegasikan secara bertahap wewenang
peperintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan
sumberdaya alam secara selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup dengan kualitas
ekosistem tetap terjaga yang diatur dengan Undang-Undang;
5) Mendayagunakan sumberdaya alam untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan
keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan kepentingan
ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta penataan ruang yang pengusahaannya
diatur UU.
III.
internalisasi Perdagangan dan Lingkungan Menuju Pembangunan
Berkelanjutan
Sejak tahun 1965, GATT telah
memiliki "Komisi Perdagangan dan Pembangunan" yang memperdulikan
persoalan perdagangan di belahan bumi selatan.
Pada tahun 1972, komisi itu
membentuk sebuah kelompok yang dinamakan "Tindakan terhadap Lingkungan dan
Perdagangan lnternasional".
Kelompok ini dibentuk setelah munculnya kecemasan bahwa kepentingan
lingkungan akan menghambat perdagangan.
Perangkat
utama yang tersedia bagi GATT untuk menangani masalah lingkungan adalah Pasal
XX (yang tidak menggunakan kata lingkungan) dan Persetujuan mengenai Hambatan
Teknik terhadap Perdagangan (yang menggunakan kata lingkungan). Setiap negara
memiliki hak untuk menggunakan tindakan perdagangan seperlunya untuk melindungi
kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan dengan pengawetan sumberdaya alam yang dapat
habis.
Tindakan
semacam ini juga dapat diterapkan untuk membatasi produksi dan/atau konsumsi
dalam negeri, namun tidak boleh menghasilkan diskriminasi yang sewenang-wenang
atau tidak boleh berlaku di semua negara dan tindakan itu tidak boleh merupakan
pembatasan terselubung atas perdagangan internasional.
Persetujuan
mengenai Hambatan Teknis Terhadap Perdagangan memberikan kerangka untuk
menangani masalah yang berkaitan dengan perdagangan di tingkat multilateral
yang timbul akibat peraturan dan baku-mutu teknis.
Pasal
XX GATT tidak boleh dibiarkan menjadi celah yang dapat dimanfaatkan oleh para
proteksionis. Melanggar asas perdagangan
bebas harus dilihat sebagai kekecualian, dan sifat kekecualian ini harus pula
dipertahankan bila ada bahaya terhadap lingkungan.
Beberapa
asas dasar berikut ini harus dimasukkan ke dalam peraturan GATT untuk menangani
masalah lingkungan:
Keterbukaan: Persyaratan
"pemberitahuan" perlu dimasukkan sehingga semua peraturan mengenai
lingkungan yang dapat berdampak terhadap perdagangan tidak bermakna ganda
secara internasional.
Keabsahan: Tindakan
perlindungan lingkungan yang membatasi perdagangan harus sah; jadi didukung
oleh bukti ilmiah yang kuat. Badan atau
panel pakar ilmiah internasional harus dibentuk untuk menguji keabsahan
tindakan semacam itu. Kalau ancaman terhadap lingkungan sangat serius atau tidak
dapat diubah, GATT WTO harus menerapkan asas pencegahan.
Kesebandingan: Tindakan yang membatasi perdagangan tidak boleh melampaui batas yang
memang diperlukan untuk melindungi lingkungan.
Subsidioritas: Jika kepentingan
lingkungan sudah terpenuhi tanpa tindakan yang mempengaruhi perdagangan, maka
tindakan yang mengganggu perdagangan harus ditiadakan.
IV. Standardisasi, AKREDITASI, DAN SERTIFIKASI BIDANG Lingkungan
4.1. Perkembangan
Global
Keterkaitan antara dunia usaha
dan lingkungan hidup telah disadari sejak dilaksanakannya "Conference on Human and
Environment" oleh PBB pada tahun 1972 di Stockholm, yang dilanjutkan
di Nairobi pada tahun 1982. Konperensi tersebut melahirkan pemikiran bahwa pembangunan industri yang
tidak terkendali akan mempengaruhi kelangsungan dunia usaha itu sendiri.
Pemikiran tersebut ditindaklanjuti
dengan pembentukan United Nations
Environment Program (UNEP) dan World
Commission on Environment and Development (WCED). lstilah "Sustainable Development" yang
diperkenalkan dalam laporan WCED pada tahun 1987 juga mencakup pengertian bahwa
kalangan industri sudah harus mulai mengembangkan sistem pengelolaan lingkungan
yang dilaksanakan secara efektif. Selanjutnya diselenggarakan "United Nations Conference on Environment and Development (UNCED)" di
Rio de Janeiro pada tahun 1992.
Menindaklanjuti gagasan tersebut,
lnggris mengeluarkan baku-mutu pengelolaan lingkungan yang pertama kali di
dunia pada tahun 1992, yaitu British
Standard (BS) 7750. Komisi Uni Eropa mulai memberlakukan Eco-Management
and Audit Scheme (EMAS) pada 1993. Dengan diberlakukannya EMAS, BS 7750 direvisi dan kembali ditetapkan pada
tahun 1994. Beberapa negara Eropa yang
lain juga mulai mengembangkan standardisasi pengelolaan lingkungan.
Di tingkat internasional, dengan
dorongan kalangan dunia usaha "International
Standardization Organization" (ISO)
dan International Electrotechnical
Commission (IEC) membentuk "Strategic
Advisory Group on the
Environment" (SAGE) pada bulan Agustus 1991. SAGE merekomendasikan
kepada ISO akan perlunya suatu Technical
Committee (TC) yang khusus bertugas untuk mengembangkan suatu seri standar
pengelolaan lingkungan yang berlaku secara internasional.
Pada tahun 1993, ISO membentuk TC
207 yang khusus bertugas mengembangkan baku-mutu (standar) lingkungan yang
dikenal sebagai ISO seri 14000. Standar
yang dikembangkan mencakup rangkaian enam aspek, yaitu:
1. Environmental Management System (EMS).
2. Environmental Auditing (EA).
3. Environmental
Labelling (EL).
4. Environmental Performance Evaluation (EPE).
5. Life Cycle Analysis (LCA).
6. Term
and Definitions (TD).
Beberapa pokok pemikiran yang mendasari ISO seri 14000 adalah sebagai
berikut:
1. Menyediakan elemen-elemen dari
suatu sistem pengelolaan lingkungan yang efektif dan dapat dipadukan dengan
persyaratan pengelolaan lainnya.
2. Membantu tercapainya tujuan
ekonomi dan lingkungan dengan meningkatkan kinerja lingkungan dan menghilangkan
serta mencegah terjadinya hambatan dalam perdagangan.
3. Tidak dimaksudkan sebagai
hambatan perdagangan non-tarif atau untuk mengubah ketentuan-ketentuan hukum
yang harus ditaati.
4. Dapat diterapkan pada semua
tipe dan skala organisasi.
5. Agar tujuan dan sasaran
lingkungan dapat tercapai maka harus didorong dengan penggunaan Best Practicable Pollution Control Technology (Teknologi
Pengendalian Pencemaran Terbaik yang Praktis) dan Best Available Pollution Control Technology EconomicaIly
Achieveable (Teknologi Pengendalian Pencemaran Terbaik yang layak ekonomi).
Sistem Pengelolaan Lingkungan yang dikembangkan oleh ISO mengambil model "continual improvement" yang
didefinisikan sebagai:
"Process of enhancing the environmental management system,
the purpose of achieving improvements in overall environmentaI
performance, not necessarily in the areas of activity simultaneously, resulting from continuous efforts to improve in line with the organization's environmental policy".
Arti dari ISO seri 14000 adalah Sistem Pengelolaan Lingkungan, yang dalam
pelaksanaannya didukung oleh beberapa alat bantu (support tools) tentang:
1. Kajian pelaksanaan program
lingkungan dan Sistem Pengelolaan Lingkungan: "Environmental Audits",
2. Evaluasi kinerja lingkungan yang dicapai
organisasi: "EnvironmentaI
Performance Evaluation",
3. Pemberian label lingkungan terhadap produk: "Environmental Labelling", dan
4. Kajian tentang daur hidup produk
dari bahan mentah, proses (limbah) hingga pada produk yang tak dapat
dimanfaatkan kembali (sampah), ini disebut dengan Life Cycle Assessment.
Beberapa keuntungan yang dapat dari pelaksanaan Sistem Pengelolaan
Lingkungan adalah:
1. Optimisasi penghematan biaya dan
efisiensi.
2. Mengurangi risiko lingkungan.
3. Meningkatkan citra (image) organisasi.
4. Meningkatkan kepekaan terhadap perhatian
publik.
5. Memperbaiki proses pengambilan keputusan.
4.2. STANDARDISASI, AKREDITASI, DAN
SERTIFIKASI BIDANG LINGKUNGAN di Indonesia
(KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN
DAMTAK LINGKUNGAN
Nomor: Ke- 29/BAPEDAL/05/1997).
4.2.1. KETENTUAN UMUM
1. Lingkungan
adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup,
termasuk di dalamnya manusia dan Perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lainnya
2. Standar
bidang lingkungan adalah spesifikisi teknis atau sesuatu yang dibakukan dalam
bidang lingkungan, disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait
dengan memperhatikan syarat-syarat kelestarian fungsi lingkungan,
kesehatan, keselamatan, perkembangan iImu pengetahuan dan teknologi, serta
berdasarkan pengalaman , perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk
memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya
3. Standardisasi
adalah proses merumuskan, merevisi, menetapkan dan menerapkan standar yang
dilaksanakan secara tertib
dan bekerjasama dengan semua pihak
4. Sistem Standardisasi Nasional, yang
selanjutnya disingkat SSN, adalah Sebagai
tatanan jaringan sarana dan kegiatan standardisasi yang serasi, selaras dan terpadu yang meliputi perumusan standar,
penerapan standar,
pembinaan dan pengawasan standardisasi kerjasama dan
informasi standardisasi, kerjasama dan informasi standardisasi metrologi dan
akreditasi
5. Standar Nasional Indonesia, yang
selanjutnya disebut SNI, adalah standar yang ditetapkan dan diberlakukan kepala
badan Pengendalian dampak lingkungan setelah mendapat persetujuan dari dewan
standardisasi nasional serta berlaku
secara nasional di Indonesia
6. Perumusan standar adalah proses
penyusunan SNI yang menjamin konsensus nasional antara pihak-pihak yang berkepentingan termasuk instansi pemerintah,
swasta, organisasi profesi/ usaha, kalangan ahli/ pakar, produsen, konsumen dan
pihak terkait lainnya;
7. Konsensus adalah kesepakatan pihak-pihak
berkepentingan terhadap suatu konsep standar baik, langsung maupun tidak
langsung yang menyatakan tidak berkeberatan menjadi rancangan SNI;
8. Revisi standar adalah kegiatan
menyempurnakan standar sesuai dengan kebutuhan dan dilaksanakan sesuai dengan
perumusan standar;
9. Penerapan standar adalah kegiatan
menggunakan SNI sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan;
10. Akreditati adalah pengakuan formal dari
Komite Akreditasi Nasional, atas nama Dewan Standardisasi Nasional berdasarkan
usul Komite Akreditasi Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, kepada unit / lembaga / institusi/ organisasi/
laboratorium penguji atas kemampuannya untuk melaksanakan kegiatan tertentu
dalam standardisasi bidang lingkungan ,
sesuai dengan persyaratan dan kriteria yang ditetapkan Dewan Standardisasi
Nasional;
11. Sertifikasi adalah proses yang berkaitan
dengan sertifikat oleh suatu unit / lembaga / institusi /organisasi /
laboratorium Penguji yang telah diakreditasi;
12. Sertifikat adalah dokumen yang menyatakan
kesesuaian hasil proses sertifikasi terhadap persyaratan yang ditentukan.
13. Sertifikasi
Sistem Manajemen Lingkungan adalah proses yang berkaitan dengan pemberian
sertifikat Sistem Manajemen Lingkungan kepada unit/ lembaga /institusi
/organisasi yang telah mampu menerapkan standar Sistem manajemen Lingkugan;
14. Sertifikasi
Label Lingkungan adalah proses yang berkaitan dengan pemberian sertifikat label
Iingkungan kepada unit / lembaga/ institusi/ organisasi untuk produk atau jasa
tertentu yang telah memenuhi ketentuan atau kriteria label lingkungan
15. Sertifikasi
Hasil Uji adalah proses yang berkaitan dengan pemberian sertifikat yang
menyatakan hasil pengujian atas contoh
uji sesuai dengan spesifikasi/metode uji/standar tertentu;
16. Sertifikasi Auditor Lingkungan adalah Proses
yang berkaitan dengan pemberian sertifikat yang menyatakan bahwa seseorang
telah memiliki kualifikasi Auditor Lingkungan;
17. Lembaga
Sertifikasi adalah lembaga yang netral, baik pemerintah maupun swasta, yang
telah diakreditasi untuk Melaksanakan sertifikasi tertentu:
18. Laboratorium
Penguji adalah suatu laboratorium, yang akreditasi oleh Komite Akreditasi
Nasional (KAN) untuk melakukan sertifikasi Hasil Uji berdasarkan ruang lingkup
akreditasi yang ditetapkan;
19. Sistem Manajemen Lingkungan adalah bagian
dari keseluruhan sistem manajemen yang meliputi struktur organisasi , perencanaan kegiatan tanggung jawab, praktek/
pelaksanaan, prosedur, proses dan sumber daya untuk mengembangkan, menerapkan,
mencapai, mengkaji dan memelihara kebijaksanaan lingkungan;
20. Audit
Lingkungan adalah suatu alat manajemen yang meliputi evaluasi secara sistematik, terdokumentasi, periodik dan
objektif tentang bagaimana suatu kinerja organisasi , sistem manajemen dan peralatan dengan tujuan
memfasilitasi kontrol manajemen terhadap pelaksanaan upaya pengendalian dampak
lingkungan dan pengkajian Penataan kebijakan usaha atau kegiatan terhadap
peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan lingkungan;
21. Auditor
lingkungan adalah individu Yang telah
disertifikasi menurut kualifikasi tertentu yang ditetapkan dan/ atau ditugaskan
untuk melaksanakan sebagian atau seluruh fungsi yang berkaitan dengan penilaian
suatu unit / institusi /produk / jasa dalam rangka kegiatan standardisasi
bidang lingkungan;
22. Label lingkungan adalah pernyataan atau
tanda lingkungan dari produk atau jasa yang menyatakan bahwa produk / jasa
tersebut sesuai dengan ketentuan kriteria yang ditetapkan,
23. Dewan
Standardisasi Nasional, yang selanjutnya disebut DSN, adalah dewan yang dibentuk
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 20 tahun 1984 jo Keputusan Presiden Nomor
7 1989 tentang Dewan Standardisasi Nasional;
24. Komite
Akreditasi Nasignal, yang selanjutnya disingkat KAN, adalah suatu wadah non
struktural yang bertugas untuk mengkoordinasikan, mensinkronisasikan, membina
dan mengawasi kegiatan akreditasi dan sertifikasi di Indonesia yang
berkedudukan di bawah dan bertanggung-jawab kepada DSN.
25. Komite
Akreditasi Badan Pengendalian Dampak Lingkunngan, yang selanjutnya disebut
Komite Akreditasi BAPEDAL adalah suatu wadah non struk-tural di lingktungan
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan yang dibentuk sesuai dengan tugas,
persyaratan dan kriteria yang ditetapkan DSN
26. Logo
Akreditasi adalah logo KAN sebagaimana ditetapkan dalam pedoman DSN;
27. Kepala adalah Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan
28. Badan
Pengendalian DAMPAK Lingkungan, yang selanjutnya disebut BAPEDAL, adalah suatu
Lembaga Pemerintah Non Departernen yang bertugas untuk mengendalikan dampak
lingkungan yang meliputi pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan kerusakan
lingkungan, serta pemulihan kualitas lingkungan sesuai dengan peraturan
perundang- undangan yang berlaku.
4.2.2. Kegiatan standardisasi
a. Perumusan dan pelaksanaan program
standardisasi berdasarkan Kebijaksanaan Standardisasi Nasional yang ditetapkan
oleh DSN.
b. Penyusunan dan penetapan tatalaksana dan
sistem kelembagaan standardisasi.
c. Perumusan konsep standar bidang lingkungan
untuk dikonsensuskan menjadi rancangan SNI yang kemudian diajukan kepada DSN
untuk memperoleh persetujuan menjadi SNI.
d. Perumusan dan penetapan peraturan serta
pedoman penerapan SNI.
e. Penyelenggaraan kerjasama teknis, pembinaan,
pengawasan dan peningkatan kemampuan teknis dalam rangka penerapan SNI.
f. Penyelenggaraan hubungan internasional
dengan koordinasi DSN, publikasi, publisitas, popularisasi, pendidikan dan
pelatihan standardisasi.
g. Pelaksanaan penilaian terhadap pemohon
akreditasi atas dasar penugasan yang diberikan oleh KAN.
h. Penyusunan panduan teknis operasional Komite
Akreditasi BAPEDAL dan persyaratan lembaga sertifikasi serta laboratorium
penguji berdasarkan persyaratan dan pedoman yang ditetapkan DSN.
4.2.3. STANDARDISASI BIDANG LINGKUNGAN
Penyusunan
Program Kebijaksanaan Standardisasi
(1). BAPEDAL
menyampaikan informasi rencana pelaksanaan kegiatan dan mengajukan usulan
program standardisasi kepada DSN sebagai baban untuk menyusun program dan/atau
kebijaksanaan standardisasi nasional.
(2). BAPEDAL memberikan tanggapan, masukan dan saran
kepada DSN terhadap konsep kebijaksanaan dan Standardisasi nasional khususnya
bidang lingkungan,
(3). BAPEDAL menyusun kebijaksanaan dan/atau
program staridardisasi sesuai dengan kebijaksanaan dan program standardisasi
nasional yang ditetapkan DSN.
(4). BAPEDAL mengkoordinasikan pelaksanaan
perumusan standar bidang lingkungan.
(5). Rancangan standar bidang lingkungan disusun
dengan memperhatikan:
a. Upaya menjaga dan melestarikan fungsi
lingkungan.
b. Standar internasional atau standar lain di
bidang lingkungan.
c. Efisiensi dan efektifitas penggunaan standar
dalam rangka mencapai tujuan pelestarian fungsi lingkungan,
d. Antisipasi diberlakukannya
ketentuan-ketentuan lingkungan dalam perdagangan.
Prosedur Perumusan
Standar
(1) Prosedur perumusan standar bidang
lingkungan dilaksanakan sesuai dengan SSN yang ditetapkan oleh DSN.
(2) Dalam
melaksanakan perumusan standar sesuai dengan prosedur, BAPEDAL, Kantor Menteri
Negara Lingkungan Hidup, instansi pemerintah, suasta, organisasi profesi /
usaha, kalangan ahli/ pakar, produsen, konsumen, dan pihak terkait lainnya.
(3) Konsep standar yang telah dirumuskan olehh
Panitia Teknis Perumusan Standar disebar-luaskan oleh BAPEDAL kepada instansi terkait lainnya yang
bukan anggota panitia teknis untuk memperoleh tanggapan dan masukan.
(4) Waktu penyebarluasan sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) hari
sebelum Forum Konsensus diselenggarakan.
(5) Tanggapan dan masukan harus sudah diterima
oleh Panitia Teknis Perumusan Standar paling lambat 14 hari sebelum Forum
Konsensus diselenggarakan.
4.2.4. Forum Konsensus
(1) Forum konsensus adalah forum untuk membahas
konsep standar untuk mencapai kesepakatan menjadi rancangan SNI.
(2) Forum konsensus yang dibentuk oleh BAPEDAL
terdiri atas PanitiaTeknis Perumusan Standar
dan pihak- lainnya yang berkepentingan.
(3) Ketentuan lebih rinci mengenai Fonun
Konsensus ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala.
4.2.5. Penetapan dan penerapan SNI
(1) BAPEDAL menyampaikan rancangan SNI
sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 kepada DSN untuk mendapat persetujuan
menjadi SNI.
(2) Berdasarkan persetujuan DSN, kepala
menetapkan, mensahkan dan memberlakukan SNI.
(3) SNI dapat diberlakukan sebagai SNI wajib
atau sukarela.
(4) Penerapan SNI wajib ditentukan oleh Kepala.
(5) Penerapan SNI sukarela dapat ditetapkan
penerapannya seara wajib atas pertimbangan lingkungan, teknis, ekonomis atau
pertimbangan lainnya.
4.2.6. Peninj auan Kembali SNI
(1) SNI ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun
sekali atau setiap saat apabila diperlukan.
(2) Peninjauan kembali dapat berupa perubahan atau
tanpa perubahan atau pencabutan.
(3) Peninjauan kembali dapat diajukan oleh masyarakat maupun Panitia
Teknis Perumusan Standar kepada Kepala dan dilaksanakan atas pertimbangan
lingkungan, teknis, ekonomis atau pertimbangan lainnya.
(4) Peninjauan kembali dilaksahakan sesuai dengan pedoman yang
ditetapkan DSN.
(5) Berdasarkan persetujuan DSN, Kepala
menetapkan, mensahkan dan memberlakukan perubahan SNI.
4.2.7. AKREDITASI BIDANG LINGKUNGAN
Komite
Akreditasi BAPEDAL
(1) Akreditasi Lembaga Sertifikasi
Sistem Manajemen Lingkungan, Lembaga Sertifikasi Label Lingkungan, Lembaga
Sertifikasi Auditor Lingkungan dan Laboratorium Penguji dilaksanakan oleh KAN
atas nama DSN berdasarkan usul Komite Akreditasi BAPEDAL.
(2)
Komite Akreditasi BAPEDAL sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) beranggotakan
wakil dan unit-unit terkait di BAPEDAL dan Kantor Menteri Negara Lingkungan
Hidup serta dan kalangan pakar, asosiasi
profesi dan pihak terkait lainnya.
(3). Struktur
organisasi Komite Akreditasi BAPEDAL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) akan
ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala sesuai dengan pedoman yang ditetapkan DSN.
Prosedur Umum Pemberian Akreditasi
(1) Lembaga
Sertifikasi / Laboratorium mengajukan permohonan kepada KAN untuk mendapatkan
akreditasi dengan tembusan kepada Komite Akreditasi BAPEDAL.
(2) Atas Penugasan KAN, Komite Akreditasi
BAPEDAL melakukan penilaian sesuai dengan permohonan yang diajukan berdasarkan
pedoman yang ditetapkan DSN.
(3) Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) Komite Akreditasi BAPEDAL menyampaikan rekomendasi dan
berkas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada KAN.
(4) Berdasarkan hasil penilaian Komite
Akreditasi BAPEDAL, KAN atas nama DSN memberikan penjelasan tertulis kepada
Lembaga Sertifikasi / Laboratorium Penguji pemohonan yang belum mampu memenuhi
persyaratan yang ditetapkan.
(5) KAN atas nama DSN memberikan akreditasi
kepada Lembaga Sertifikasi / Laboratorium Penguji pemohonan yang telah memenuhi
persyaratan yang ditetapkan.
(6) Lembaga Sertifikasi / Laboratorium penguji yang telah diakreditasikan oleh KAN
berhak untuk menggunakan logo akreditasi.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi
akan ditetapkan oleh Kepala sesuai dengan pedoman yang ditetapkan DSN.
4.2.8. SERTIFIKASI LINGKUNGAN
Sertifikasi Sistem Manajemen
Lingkungan, Sertifikasi Label Lingkungan, Sertifikasi Hasil Uji serta
Sertifikasi auditor Lingkungan
dilaksanakan oleh lembaga-lembaga Sertifikasi.
a. Sertifikasi Sistem Manajemen Lingkungan
dilaksanakan oleh Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Lingkungan
b. Sertifikasi Label Lingkungan dilaksanakan
oleh Lembaga Sertifikasi Label Lingkungan
c. Sertifikasi Auditor Lingkungan dilaksanakan
oleh Lembaga Sertifikasi Personil Lingkungan.
d. Sertifikasi
Hasil Uji dilaksanakan oleh Laboratorium Penguji.
Lembaga Sertifikasi laboratorium
penguji adalah lembaga yang diakreditasikan oleh KAN atas nama DSN
berdasarkan usul Komte Akreditasi
BAPEDAL untuk melaksanakan kegiatan sertifikasi tertentu.
Lembaga
Sertifikasi dan laboratorium penguji harus menyampaikan laporan mengenai semua
kegiatan yang berhubungan dengan Sertifikasi kepada Komite Akreditasi BAPEDAL untuk diteruskan kepada KAN.
Prosedur Umum
Pemberian Sertifikasi
(1) Unit / Lembaga / institusi / organisasi /
personil mengajukan permohonan kepada lembaga Sertifikasi untuk mendapatkan
Sertifikasi tertentu.
(2) Lembaga Sertifikasi melakukan penilaian sesuai dengan pemohonan
yang diajukan oleh unit / lembaga / institusi / organisasi/personil berdasarkan
persyaratan Sertifikasi yang telah ditetapkan.
(3) Penilaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilaksanakan oleh tim auditor lingkungan seseai kriteria yang telah ditetapkan.
(4) Atas dasar penilaian seperti tersebut dalam
ayat (3) lembaga Sertifikasi memberikan keputusan hasil penilaian terhadap
permohonan Sertifikasi.
(5) Lembaga Sertifikasi memberikan Serfifikasi
kepada unit/lembaga/institusi/organisasi/personil pemohonan sertifikat yang mampu memenuhi persyaratan Sertifikasi
yang telah ditetapkan.
(6). Lembaga sertifikasi memberikan penjelagan
tertulis tentang ketidaksesuaian yang ditemukan dalam penilaian kepada
organisasi / perusahaan /unit /personil / pemohon sertifikat yang belum mampu
memenuhi persyaratan sertifikasi yang telah ditetapkan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi
oleh KAN atas nama DSN berdasarkan usul Komite Akreditasi BAPEDAL sesuai dengan
Pedoman yang ditetapkan-DSN.
Prosedur Umum Pemberian Sertifikat
Hasil Uji Laboratoriurn
(1) Unit / Lembaga /
institusi/organisasi/personil mengajukan permohonan kepada Laboratorium Penguji
untuk mendapatkan sertifikat.
(2). Laboratorium Penguji melakukan pengujian sesuai
dengan permohonan yang diajukan oleh unit / lembaga / instusi / organisasi/ personil
berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
(3). Pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilaksanakan oleh tim penguji/analis sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan.
(4). Laboratorium Penguji memberikan sertifikat
hasil uji kepada unit/ lembaga / instansi / institusi / organisasi /personil yang
mengajukan permohonan pengujian sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan.
(5). Atas dasar pengujian seperti ayat (3)
laboratorium penguji memberikan hasil
pengujian kepada pemohonan tidak memenuhi standar atau kriteria yang telah
ditetapkan.
Lembaga sertifikasi menjamin bahwa
suatu unit / lembaga /institusi / organisasi / personil yang telah memperoleh
Sertifikat selalu dapat memelihara kesesuaian standar yang diacu selama
sertifikat tersebut masih berlaku, dengan
melakukan pemeriksaan secara berkala dan
sewaktu- waktu sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan DSN.
4.2.9. Label
Lingkungan
Unit / lembaga /Institusi/organisasi
yang telah mempunyai sertifikat dari Lembaga Sertifikasi berhak untuk
mendapatkan surat tanda pendaftaran dan membubuhkan label lingkungan ataupun
nomor SNI yang sesuai pada produk atau penjelasan profil organisasi / jasa
untuk jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan
Label lingkungan
serta Nomor SNI diberlakukan oleh Kepala atas persetujuan DSN.
V. Sistem Pengelolaan Lingkungan
Berdasarkan pengalaman dan
evaluasi terhadap pelaksanaan pengelolaan lingkungan selama ini, dipandang
perlu untuk menyusun suatu sistem pengelolaan lingkungan yang memberikan sarana
lebih terstruktur dalam mencapai target pengelolaan lingkungan.
Sistem Pengelolaan Lingkungan dapat
diartikan sebagai integrasi dari struktur organisasi, wewenang dan tanggung
jawab, mekanisme dan prosedur/proses, praktek operasional, dan sumberdaya untuk
implementasi pengelolaan lingkungan.
Pengelolaan lingkungan meliputi
segenap aspek fungsional pengelolaan untuk mengembangkan, mencapai, dan menjaga
kebijakan dan tujuan organisasi dalam isu-isu lingkungan hidup.
Sistem Pengelolaan Lingkungan memberikan
mekanisme untuk mencapai dan menunjukkan kinerja lingkungan yang baik, melalui
upaya pengendalian dampak lingkungan dari kegiatan, produk dan jasa.
Agar
dapat diimplementasikan secara efektif, Sistem Pengelolaan Lingkungan harus
mencakup beberapa elemen utama sebagai berikut:
1. Kebijakan
lingkungan: pernyataan tentang maksud kegiatan pengelolaan lingkungan dan
prinsip-prinsip yang digunakan untuk mencapainya.
2. Perencanaan;
mencakup identifikasi aspek lingkungan dan persyaratan peraturan lingkungan
hidup yang bersesuaian, penentuan tujuan pencapaian dan program pengelolaan.
3. lmplementasi;
mencakup struktur organisasi, wewenang dan tanggung jawab, pelatihan,
komunikasi, dokumentasi, pengendalian dan tanggap darurat.
4. Pemeriksaan
reguler dan tindakan perbaikan: mencakup pemantauan, pengukuran, dan audit.
5. Kajian
pengelolaan; kajian tentang kesesuaian dan efektifitas sistem untuk mencapai
tujuan dan perubahan yang terjadi di luar organisasi.
Setiap organisasi, tanpa batasan
bidang kegiatan, jenis kegiatan, skala kegiatan dan status organisasi, dapat
mengimplementasikan Sistem Pengelolaan Lingkungan tersebut untuk mencapai
kinerja lingkungan yang lebih baik secara sistematis. lmplementasi sistem
tersebut bersifat sukarela dan berperan sebagai alat pengelolaan untuk
memanajemen organisasi masing-masing.
5.1. AMDAL dalam Pengelolaan Lingkungan
Setiap
kegiatan pembangunan secara potensial mempunyai dampak terhadap
lingkungan. Dampak-dampak ini harus
dipelajari untuk merencanakan upaya mitigasinya. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1993 (PP
51/1993) tentang Analisis Mengenal Dampak Lingkungan (AMDAL) menyatakan bahwa
studi tersebut harus merupakan bagian dari studi kelayakan dan menghasilkan
dokumen-dokumen sebagai berikut:
1. Kerangka
Acuan (KA) ANDAL, yang memuat lingkup studi ANDAL yang dihasilkan dari proses
pelingkupan.
2. Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), yang
merupakan inti studi AMDAL. ANDAL memuat
pembahasan yang rinci dan mendalam tentang studi terhadap dampak penting
kegiatan yang diusulkan.
3. Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), yang
memuat usaha-usaha yang harus dilakukan untuk mitigasi setiap dampak lingkungan
dari kegiatan yang diusulkan.
4. Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), yang
memuat rencana pemantauan dampak lingkungan yang akan timbul.
RKL
dan RPL merupakan persyaratan mandatory menurut PP 51/1993, sebagai bagian
kelengkapan dokumen AMDAL bagi kegiatan wajib AMDAL. Untuk kegiatan yang tidak wajib AMDAL,
penanggulangan dampak lingkungan yang timbul memerlukan:
1. Upaya
Pengelolaan Lingkungan (UKL)
2. Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL)
3. Pertanggung-jawaban pelaksanaan audit,
antara auditor dan manajemen organisasi.
4. Komunikasi temuan-temuan audit.
5. Kompetensi audit.
6. Bagaimana
audit akan dilaksanakan.
Sebagai dasar pelaksanaan Audit
Lingkungan di Indonesia, telah dikeluarkan Kepmen LH No. 42/MENLH/11/1994
tentang Prinsip-Prinsip dan Pedoman Umum Audit Lingkungan. Dalam Lampiran Kepmen LH No. 41/94 tersebut
didefinisikan bahwa:
"Audit lingkungan adalah suatu alat pengelolaan yang meliputi
evaluasi secara sistematik terdokumentasi, periodik dan obyektif
tentang bagaimana suatu kinerja organisasi, sistem pengelolaan dan pemantauan dengan tujuan memfasilitasi kontrol
pengelolaan terhadap pelaksanaan upaya
pengendalian dampak lingkungan dan pengkajian kelayakan usaha atau kegiatan
terhadap peraturan perundang-undangan
tentang pengelolaan lingkungan".
"Audit Lingkungan suatu usaha atau kegiatan merupakan perangkat
pengelolaan yang dilakukan secara internal oleh suatu usaha atau
kegiatan sebagai tanggungjawab pengelolaan dan pemantauan lingkungannya. Audit lingkungan bukan merupakan pemeriksaan
resmi yang diharuskan oleh suatu peraturan
perundang-undangan, melainkan suatu usaha proaktif yang diIaksanakan secara
sadar untuk mengidentifikasi
permasalahan lingkungan yang akan timbul sehingga dapat dilakukan upaya-upaya pencegahannya".
Peraturan tersebut menggaris-bawahi pentingnya
implementasi suatu sistem pengelolaan lingkungan untuk meningkatkan kinerja
lingkungan. Hal ini selaras dengan
substansi dari ISO seri 14000.
5.2. Produksi Bersih dalam Pengelolaan Lingkungan
Berdasarkan pengalaman pelaksanaan
upaya pengendalian dampak lingkungan selama ini, dapat dikaji beberapa pokok
penting sebagai berikut:
1. Produksi
limbah terus meningkat.
2. Karakteristik limbah semakin kompleks
sehingga limbah semakin sulit diolah.
3. Biaya pengolahan dan pembuangan limbah
semakin mahal.
4.
Mengolah limbah
ternyata lebih mahal daripada mencegah terbentuknya limbah.
5. Pengolahan limbah hanya
memindahkan limbah dari satu media ke media lainnya.
6. Pencemaran lingkungan terus berlanjut.
7. Peraturan yang ada masih terfokus pada
pengolahan dan pembuangan limbah dan belum mencakup usaha-usaha pencegahannya.
8. Adanya
dampak globalisasi terhadap daya saing produk di pasar lnternasional.
Berdasarkan hal~hal tersebut di
atas, maka pengendalian dampak lingkungan harus berpola proaktif dengan urutan
prioritas:
1. Prinsip pencegahan pencemaran (pollution prevention)
2. Pengendalian pencemaran (pollution control),
3. Remediasi (remediation).
Upaya pencegahan pencemaran
secara sistematik dapat dilaksanakan melalui pelaksanaan program Produksi
Bersih (Cleaner Production). lstilah
Cleaner Production mulai
diperkenalkan oleh UNEP pada bulan Mei 1989 dan diajukan secara resmi pada
bulan September 1990 pada "Seminar
on the Promotion of Cleaner Production" di Cantebury, lnggris.
UNEP mendefinisikan Produksi Bersih
sebagai:
"Pelaksanaan yang terus menerus untuk mengurangi sumber pencemaran
secara terpadu guna mencegah pencemaran udara, air dan tanah pada proses
industri dan produknya, serta meminimalkan risiko bagi populasi manusia dan lingkungan”.
Untuk “proses”, produksi bersih
mencakup upaya penghematan bahan baku dan energi, tidak menggunakan bahan baku
B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), mengurangi jumlah toksik semua limbah dan
emisi yang dikeluarkan sebelum produk meninggalkan proses.
Untuk “produk”, produksi bersih
memfokuskan pada upaya pengurangan dampak yang timbul di keseluruhan daur hidup
produk, mulai dari ekstraksi bahan baku sampai pembuangan akhir setelah produk
tidak dapat digunakan lagi.
Strategi produksi bersih mencakup
upaya pencegahan pencemaran melalui pilihan jenis proses yang akrab lingkungan,
minimisasi limbah, analisis daur hidup, dan teknologi bersih.
Keuntungan
yang didapat melalui penerapan produksi bersih adalah:
1. Sebagai
pedoman bagi perbaikan produk dan proses.
2. Penghematan bahan baku dan energi yang
sekaligus pengurangan ongkos produksi per satuan produk.
3. Peningkatan daya saing mefalui penggunaan
teknologi baru dan/atau perbaikan teknologi.
4. Pengurangan kebutuhan bagi penaatan baku
mutu dan peraturan yang lebih banyak.
5. Perbaikan citra perusahaan di mata
masyarakat.
6. Pengurangan
biaya secara nyata sebagai alternatif solusi pengolahan “ujung pipa” yang
mahal.
vi. BAKU MUTU
LINGKUNGAN
6.1. Konsep dan Pengertian
Baku mutu air pada sumber air,
disingkat baku mutu air, adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat
atau bahan pencemar terdapat dalam air,
naun air tetap berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Baku mutu limbah cair adalah batas
kadar yang diperbolehkan bagi zat atau bahan pencemar untuk dibuang dari sumber
pencemaran ke dalam air pada sumber air
, sehingga tidak mengakibatkan dilampauinya baku mutu air.
Baku
mutu udara ambien adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau bahan
pencemar terdapat di udara, namun tidak menimbulkan gangguan terhadap makhluk
hidup, tumbuh-tumbuhan dan atau benda
Baku
mutu udara emisi adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau bahan
pencemar untuk dikeluarkan dari sumber
pencemaran ke udara, sehingga tidak
mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien
Baku
mutu air laut adalah batas atau kadar
makhluk hidup, zat, energi atau komponen lain yang ada atau harus ada , dan zat
atau bahan pencemar yang ditenggang adanya dalam air laut.
6.2. Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan
Industri
(KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN RIDUP,
NOMOR: KEP-03/MENLH/l/1998)
Dalam rangka untuk
melestarikan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi manusia serta makhluk
hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair ke
media lingkungan. Kegiatan pembuangan limbah cair oleh kawasan industri
mempunyai potensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, oleh karena itu
perlu dilakukan pengendalian.
Untuk melaksanakan
pengendalian pencemaran air sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 15
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendatian Pencemaran Air,
perlu ditetapkan lebih lanjut Baku Mutu Limbah Cair.
Kawasan Industri
adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan
prasarana dan sarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan
Kawasan hidustri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri.
Perusahaan Kawasan
Industri adalah perusahaan yang mengusahakan pengembangan dan/atau pengelolaan
Kawasan Industri.
Baku Mutu Limbah Cair Kawasan Industri
adalah batas maksimum limbah cair yang diperbolehkan dibuang ke lingk-ungan
hidup dari suatu Kawasan Industri.
Limbah Cair
Kawasan Industri adalah limbah dalam bentuk cair yang dihasilkan oleh kegiatan
Kawasan Industri yang dibuang ke lingkungan hidup dan diduga dapat menurunkan
kualitas lingkungan hidup.
Mutu Limbah Cair
adalah keadaan limbah cair yang dinyatakan dengan debit, kadar dan beban
pencemar.
Debit maksimum
adalah debit tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan hidup.
Kadar maksimum
adalah kadar tertinggi yang masih diperbolebkan dibuang ke lingkungan hidup.
Beban pencemaran
maksimum adalah beban pencemaran tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke
lingkungan hidup.
Baku Mutu Limbah
Cair Bagi Kawasan Industri yang telah mempunyai Unit Pengolah Limbah Terpusat
adalah sebagaimana tersebut dalam Keputusan ini. Bagi Kawasan Industri yang
belum mempunyai Unit Pengolah Limbah Terpusat berlaku Baku Mutu Limbah Cair
bagi jenis-jenis industri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Kadar maksimum dari masing-masing parameter atau debit limbah maksimum
sebagaimana tersebut dalam Keputusan ini dapat dilampaui sepanjang beban
pencemaran maksimum tidak dilampaui (Pasal 2).
Gubemur dapat
menetapkan parameter tambahan di luar parameter Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana dimaksud dalam Keputusan ini dengan persetujuan Menteri (Pasal 3).
Gubernur dapat
menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Keputusan ini. Apabila
Gubemur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair yang lebih ketat maka berlaku
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana diatur dalam Keputusan ini. (Pasal 4).
Apabila analisis
mengenai dampak lingkungan untuk kawasan industri mensyaratkan Baku Mutu Limbah
Cair lebih ketat dari Baku Mutu Limbah Cair Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
maka untuk kawasan industri tersebut ditetapkan Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana yang dipersyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan (Pasal
5 ).
Setiap penanggung jawab Perusahaan Kawasan
lndustri wajib untuk (Pasal 6):
a. Melakukan pengelolaan limbah cair sehingga
mutu limbah cair yang dibuang ke lingkungan hidup tidak melampaui Baku Mutu
Limbah Cair yang telah ditetapkan;
b. Membuat saluran pembuangan limbah cair yang
kedap air sehingga tidak terjadi perembesan limbah cair ke lingkungan;
c. Memasang alat ukur debit atau laju alir
limbah cair dan melakukan pencatatan debit harian limbah cair tersebut;
d. Memeriksakan
kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair secara periodik sekurang-kurangnya 1
(satu) kali dalam sebulan;
e. Memisahkan saluran pembuangan limbah air
dengan limpasan air hujan;
f. Menyampaikan
laporan tentang luas lahan yang terpakai, catatan debit harian dan kadar parameter Baku Mutu
Limbah Cair sekurang-kurangnya 6 bulan sekali kepada Kepala Bapedal, Bapedalda
Tingkat I, Bapedalda Tingkat II, Instansi Teknis yang membidangi kawasan
industri, dan instansi lain yang dianggap perlu sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Setiap
penanggungjawab Perusahaan Kawasan industri dilarang melakukan pengenceran
limbah cair (Pasal 7).
Apabila Baku Mutu
Limbah Cair kegiatan kawasan industri
telah ditetapkan sebelum Keputusan ini maka (Pasal 8):
(a) Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau
sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Keputusan ini
dinyatakan tetap berlaku;
(b) Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar
daripada Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Keputusan ini wajib
disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Keputusan
ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah ditetapkannya Keputusan ini.
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KAWASAN
INDUSTRI
PARAMETER
|
KADAR MAKSIMUM
|
BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM
|
|
(mg/liter)
|
(kg/hari.Hari)
|
BOD5
|
50
|
4.3
|
COD
|
100
|
8.6
|
TSS
|
200
|
17.2
|
pH
|
6.0 - 9.0
|
|
DEBIT LIMBAH CAIR
MAKSIMUM: 1 L per detik per HA lahan kawasan yang terpakai.
PERHITUNGAN BEBAN PENCEMARAN
MAKSIMUM UNTUK MENENTUKAN MUTU LIMBAH CAIR
Penerapan baku
mutu limbah cair pada pembuangan limbah cair melalui penetapan beban pencemaran
maksimum sebagaimana tercantum dalam Lampiran I didasarkan pada juralah unsur
pencemar yang terkadung dalam aliran limbah cair. Untuk itu digunakan perbitungan sebagai berikut :
1.
Beban Pencemaran Maksimum (BPM)
BPM = (Cm)j x Dm x A x f........................ (II. 1. 1)
Keterangan :
BPM = Beban
Pencemaran Maksimum yang diperbolehkan, dinyatakan dalam kg parameter per hari
(Cm)j = Kadar
maksimum parameter j seperti tercantum dalam Lampiran I Keputusan ini,
dinyatakan dalam mg/I.
Dm = Debit limbah
cair maksimum seperti tercantuin dalam Lampiran 1, dinyatakan dalam L limbah
cair per detik per hektare.
A = Luas lahan kawasan yang terpakai,
dinyatakan dalam hektare (HA)
f = faktor konversi =
1 kg 24 x 3600 detik
--------------------x
-------------------------- = 0.086 ….
(II.1.2)
1.000.000 mg hari
2. Beban pencemaran sebenarnya dihitung dengan
cara sebagai berikut
BPA = (CA)j x (DA)
x f ................. (II.2. 1)
Keterangan
BPA = Beban
pencemaran sebenarnya, dinyatakan dalam kg parameter per hari
(CA)j = Kadar sebenarnya parameter j, dinyatakan
dalam mg/l
DA = Debit limbah cair sebenarnya,
dinyatakan dalam liter/detik
f = faktor konversi = 0,086
3. Evaluasi
Penilaian beban pencemaran adalah :
BPA tidak boleh melewati BPM
4. Contoh Penerapan
Data yang diambil
dari lapanan untuk penerapan Baku Mutu Limbah Cair Kawasan Industri adalah:
- Luas areal kawasan industri yang terbangun
(A) [hektare,ha]
- Kadar sebenarnya (CA) untuk setiap parameter
[mg/liter]
- Debit limbah hasil pengukuran (DA)
[liter/detik]
Contoh perhitungan:
Suatu kawasan
industri mempunvai luas lahan kawasan terpakai 1.500 hektar. Parameter dari Lampiran 1 yang akan dijadikan
contoh perhitungan adalah parameter (j) BOD.
Dari Lampiran 1 diketahui :
-
Debit maksimum yang diperbolehkan (Dm)
= 1
liter/detik/ha
-
Untuk parameter BOD diketahui:
Kadar
maksimum (Cm) = 50 mg/liter
- Beban maksimum
yang diperbolehkan = 4.3 kg/hari/ha
Data Lapangan:
- Kadar BOD hasil
pengukuran (CA) = 60 mg/liter
- Debit hasil
pengukuran (DA) = 1000 liter/detik
- Luas lahan
Kawasan terpakai (A) = 1500 ha.
Beban pencemaran
maksimum parameter BOD yang diperbolehkan untuk kawasan industri tersebut
(persamaan II.1.1) adalah:
BPM = Cm
x Dm x f x A
= 50
x 1 x 0.086 x 1.500
= (
4.3 kg/hari/ha ) x 1.500 ha
= 6.450
kg/hari
Beban pencemaran
sebenarnya untuk parameter BOD kawasan industri tersebut (persamaan ll.2.1)
adalah:
BPA = CA x DA x f = 60 x 1.000 x 0.086 =
-;.160 ka',iarl
Dari contoh di atas BPA (5.160 kg/hari) lebih kecil dari pada BPM (6.450
kg/hari), jadi untuk parameter BOD kawasan tersebut menenuhi Baku Mutu Limbah
Cair.
DAFTAR PUSTAKA
Agenda 21
Indonesia. 1996. Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Brian Rothery.
1995. ISO 14000. Sistem Manajemen
Lingkungan. Seri Manajemen No. 179. PT. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta.
Canter, L.W. 1977. Environmental Impact Assessment. McGraw-Hill
Book Company, New York.
Canter, L.W. dan L.G.Hill. 1979. Handbook of Variables for Environmental
Impact Assessment. Ann Arbor Science, Publishers Inc, Ann Arbor, Michigan.
Chanlett,
E.T. 1973. Environmental Protection.
McGraw-Hill Book Company, new York.
Frenkiel, F.N. dan Goodall, D.W.
1976. Simulation Modelling of Environmental
Problems. John Wiley and Sons New York, USA.
Ott, W.R. 1978. Environmental Indices. Theory and
Practice.Ann Arbor Science Publishers Inc., Michigan.
Thomas, W.A. 1972. Indicators of
Environmental Quality, Environmental Science Research Series Vol 1. Plenum
Press, New York, 1972.
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKuNGAN
HIDUP NOMOR: KEP-03/MENLH/1/1998,
TEINTANG BAKU MUTU LIMBAH
CAIR BAGI KAWASAN INDUSTRI. TANGGAL15 JANUARI 1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar